Minggu, 27 September 2015

LIBURAN SPESIAL AKHIR TAHUN, GUNUNG PRAU DIENG



Sesuai sama judulnya, liburan tahun kemaren saya dan teman satu kostan berkesempatan mengunjungi tempat yang paling spesial yaitu dataran tinggi Dieng. Tujuan utama kami adalah untuk dapat menikmati momen sunrise dari atas Gunung Prau. Setelah melewati musyawarah panjang, akhirnya kami putuskan untuk berangkat menggunakan kendaraan roda dua. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar bisa sedikit menghemat biaya yang dikeluarkan berhubung saat itu berpapasan dengan libur akhir tahun yang sudah pasti semua harga tiket angkutan umum mengalami kenaikan.
Minggu pagi itu kami berempat memulai perjalanan dari Bandung. Tujuan pertama kami adalah menuju kota Yogyakarta untuk mengunjungi beberapa kawan disana. Ini bukan kali pertama saya melakukan perjalanan Bandung-Jogja menggunakan motor, jadi saya sudah tidak terlalu buta akan jalur yang akan menempuh waktu yang cukup lama itu. Singkat cerita, setelah menempuh jarak sekitar 400 km dan waktu tempuh sekitar 10 jam kami pun akhitnya tiba di Kota Jogja. Perjalanan yang cukup memakan tenaga. Tujuan utama kami adalah Malioboro, bukan untuk mencari oleh-oleh tapi untuk mampir sekedar mengisi perut di warung angkringan yang banyak berjajar di pinggir jalan. Menu murah meriah yang memanjakan perut sudah mengisi perut. Malam semakin larut, kami pun  segera meluncur menuju kediaman teman yang sebelumnya sudah bersedia untuk menampung kami untuk beristirahat.

Jogja pagi itu memberikan suasana yang berbeda, secangkir kopi dan gorengan hangat pun menjadi tenaga kita untuk mengeksplore keindahan Kota Jogja ini. Seharian penuh memacu motor mengelilingi Kota Jogja, tetapi tidak banyak yang kami kunjungi disini mengingat kami harus menghemat tenaga untuk melakukan perjalanan besok. Pantai Gunung Kidul yang memiliki banyak pantai yang berjajar menjadi tujuan kami saat itu.

Di tebing di atas pantai Baron

Sunset di salah satu pantainya

Pantai Watu Kodok

Siang berganti malam, setelah mengisi kebutuhan perut kamipun kembali ke kediaman kawan untuk packing ulang perlengkapan untuk perjalanan besok.

Berhubung ada seorang teman kami yang menyusul menggunakan kereta api, kami pun sibuk mencari motor tambahan pagi itu. Untung saja ada motor nganggur yang bersedia dipinjamkan untuk kami gunakan. Tepat jam 10 pagi, berbekal panduan dari teman dan GPS pada handphone meluncurlah kami berlima menuju Dieng. Perjalanan yang penuh dengan canda gurau dan merupakan perjalanan pertama kami semua membuat perjalanan ini begitu menyenangkan. Maklum, ini merupakan perjalanan motor terjauh bagi kita semua. Setelah memacu motor selama sekitar 4 jam dikarenakan banyaknya berhenti untuk mengambil foto dan beristirahat, sampailah juga berlima kami di Dieng. Karena tujuan pertama kami adalah untuk mendaki Gunung Prau, kamipun segera menuju pos pendakian Patak Banteng. Pos pendakian ini sudah cukup ramai dengan para pendaki yang akan berangkat. Karena sepanjang perjalanan kami di temani oleh hujan dan panas yang tidak terprediksi, badan kami ngadat minta istirahat. Berniat untuk melakukan pendakian esok harinya, kami pun meminta izin untuk menginap dulu semalam di pos pendakian ini. Setelah memasak menu makan malam berupa roti bakar madu dan susu hangat, kami semua segera tidur untuk mengembalikan tenaga. 

Plang pos pendakian Patak Banteng

Di depan pos pendakian


Udara dingin membangunkan kami berlima dari tidur pagi itu. Roti bakar sosis dan minuman hangat menjadi menu sarapan kami semua. Setelah beres packing barang dan mengurus izin pendakian, kami segera bergegas untuk segera mendaki Gunung Prau. Berbekal peta seadanya yang diberikan di pos pendakian, kami mulai memasuki gang-gang rumah warga. Pemandangan menuju puncak prau ini, kita disuguhi dengan hamparan perkebunan warga sekitar. Jalur menanjak sudah menyapa kami dari awal pendakian, tetapi udara yang cukup sejuk membuat perjalanan kami tidak terasa melelahkan. Setelah sekitar tiga jam mendaki, melalui jalur yang lumayan membuat panas otot paha akhirnya kami tiba di puncak Gunung Prau ini. Pendaki tampak memadati kawasan puncak Prau ini, setelah menemukan shelter yang cocok kami segera mendirikan tenda. Tenda berdiri, perut pun lapar. Menu makan siang yang kami buat siang itu adalah mie goreng kornet dengan potongan sosis di atasnya. Menu yang cukup membuat saya merasa ngantuk dan tertidur untuk beberapa jam.

Untuk apa jauh-jauh ke gunung kalo cuma untuk numpang tidur sama makan doing, mending di kosan aja ucap salah satu teman saya sembari menggoyang-goyangkan tenda saya.

Berniat untuk ngedumel, mata ini malah terkagum-kagum dengan pemandangan yang sudah tersaji di depan mata. Memang pada saat sampai tadi, semuanya tertutup oleh kabut. Tapi sore itu, Gunung Sindoro dan Sumbing tampak megah berdiri di depan mata. Tak ingin melewatkan kesempatan kami semua berfoto dengan gaya andalan masing-masing.

Jalur nanjak dengan perkebunan warga di sekitarnya

Jalur menanjak lagi



Ladies kita satu-satunya



Berpose di depan Sindoro dan Sumbing
Matahari perlahan menghilang, pemandangan Kota Wonosobo di depan sana menemani kami semua menikmati secangkir kopi hangat di depan tenda. Satu perstu dari kami mulai tertidur, dan akhirnya kami semua menuju alam mimpi masing-masing.

Tepat jam 12 malam, suara riuh para pendaki membangunkan kami. Ternyata ini sudah memasuki tahun baru. Kami semua bergegas keluar dan menikmati pemandangan kembang api yang menghiasi Kota Wonosobo malam itu. Perasaan syukur saya panjatkan karena ini merupakan kali pertama saya menikmati malam pergantian tahun baru dari ketinggian. Puas menikmati keramaian malam itu, kami masuk kembali ke tenda untuk melanjutkan tidur.
Cuaca di puncak Prau kurang bersahabat subuh itu, kabut dan hujan menemani kami semua. Perasaan kecewa muncul di wajah kami semua karena tidak mendapatkan momen sunrise yang sangat indah jika saya lihat di foto-foto blog lain. Ya, mau bagaimanapun alam memang tidak pernah bisa kita prediksi. Sarapan pagi beres, tenaga untuk melanjutkan perjalanan turun sudah terisi. Tepat jam 08.00 pagi kami mulai membereskan semua barang dan packing ulang. Kami pun menyusuri kembali jalur yang kemarin, jalanan yang basah oleh hujan cukup menyulitkan kami semua. Sampai di bawah, kami semua menyempatkan diri untuk makan dan mandi di rumah warga yang menyediakan fasilitas kamar mandi. Sekedar informasi, air disini dingin sekali. Saya saja yang biasa mandi subuh dengan air dingin cukup menggigil merasakan air disini, airnya kaya yang baru dikeluarin dari kulkas. Tetapi banyak rumah warga yang sudah menyediakan fasilitas air panas bagi yang tidak kuat dengan dingin.
Sekian cerita dari saya, semoga bermanfaat bagi kawan semua. Bukanlah apa yang kita lihat yang penting disana, tatapi apa yang kita rasakan. Mulai dari kebersamaan dan keseruan yang terekam dan akan selalu tersimpan dalam diri kami semua. Makasih buat semua, udah memberikan perjalanan yang sungguh sangat berharga.

Jumat, 25 September 2015

Gunung Guntur

Gunung Guntur, sebuah gunung yang berada di sebelah barat dari Kota Garut Jawa Barat. Gunung dengan ketinggian 2.249 mdpl ini merupakan gunung berapi paling aktif pada tahun 1800an.
Gunung Guntur tampak dari bawah

Setelah menjalani musyawarah yang tidak terlalu panjang, selasa pagi saya dan rekan saya memutuskan untuk berangkat menjajal gunung satu ini. Setelah sekian banyak wacana yang pada akhirnya hanya saya berdua dengan rekan saya yang jadi berangkat untuk mendaki. Dengan menggunakan kendaraan roda dua, saya memacu motor untuk keluar dari Kota Bandung menuju Kota Garut. Setelah menempuh waktu perjalanan sekitar dua jam kami pun sampai di gapura pos pendakian Gunung Guntur yang terletak tepat di pinggir jalan raya. Masuk ke dalam lagi. kita akan disambut oleh jalan beton yang lumayan bagus dengan kontur sedikit menanjak. Sekitar 15 menit dari gapura kita akan bertemu dengan pos pendakian Gunung Guntur. Setelah memarkirkan motor dan melakukan registrasi yang tidak dipungut biaya sama sekali, saya dan rekan saya bersiap-siap untuk melakukan pendakian. Waktu menunjukan jam 02.00 siang, matahari sangat terik dan cukup menguras tenaga kami berdua. Sepanjang perjalanan kita akan melewati areal pertambangan pasir yang banyak dilakukan di sekitaran kaki Gunung Guntur ini. Setelah sampai di kawasan pertambangan paling akhir, trek dilanjutkan dengan melewati jalan setapak untuk menuju kawasan curug Citiis. Bisa dibilang jalur pendakian Gunung Guntur ini lumayan memakan banyak tenaga, dikarenakan jalur turunannya yang sedikit dan banyaknya jalur menanjak. Pos demi pos kami lalui dengan bermandikan keringat hingga akhirnya kita sampai di pos 3. Di pos ini terdapat pos basecamp volunteer dimana kita harus melakukan pendaftaran lagi sebelum melanjutkan perjalanan. Pada pos ini juga kita bisa mengisi persediaan air untuk bermalam di puncak. Perlu diperhatikan jumlah air yang akan kita bawa karena ini merupakan sumber air terakhir sepanjang jalur pendakian menuju puncak Gunung Guntur.

Sumber air di Pos 3


Kemiringan jalurnya nih!

Bonus liat edelweiss di jalur pendakian

Tidak ingin berlama-lama, kami pun melanjutkan kembali perjalanan. Jalur menanjak dengan permukaan tanah berpasir yang sangat berdebu sudah menanti kita disana. Kanan dan kiri jalur tampak padang rumput kering dan pohon yang bisa dibilang sangat sedikit membuat matahari langsung menerpa tubuh. Jika dilihat dari bawah, jalur menuju puncak ini terlihat dekat. Akan tetapi semakin kita berjalan, kemiringan jalur ini akan semakin curam. jalur yang curam dengan permukaan tanah pasir berbatu inilah yang membuat perjalanan menuju puncak terasa semakin berat. Setelah berhenti istirahat yang tidak terhitung lagi berapa banyaknya, tepat jam 19.00 malam akhirnya kamipun tiba di puncak satu Gunung Guntur. Beres mendirikan tenda dan merapikan barang-barang, acara dilanjutkan dengan masak-masak. Menu nasi putih, mie goreng kornet dan ikan asin cukup untuk mengganjal perut kami sekaligus mencharge tenaga yang sudah banyak terkuras. Ada pemadangan yang cukup unik di puncak satu Gunung Guntur ini, yaitu banyak berkeliarannya babi hutan yang berkeliling mencari makanan di setiap tenda yang ada. Saran untuk kalian yang akan mendaki ke gunung ini, usahakan jangan menyimpan barang-barang diluar tenda terutama peralatan masak karena babi-babi ini sering mengacak-acak barang bahkan akan membawa peralatan masak jika masih terdapat sisa makanan di dalamnya. Malam pun berlalu, waktunya mengistirahatkan badan dengan tidur.
Udara sejuk menyambut kami pagi itu, sayang kabut menutupi pemandangan sekitaran puncak. Perasaan kecewa tidak bisa menikmati momen indah sunrise Gunung Guntur pun muncul. Akan tetapi, alam masih berbaik hati pada kita. Perlahan-lahan kabut mulai menghilang dan menampakan semburat jingga di ujung sana. Ya, matahari  terbit mulai nampak disana. Gunung Cikuray dan Papandayan pun nampak terlihat dengan hiasan lautan awan di sekelilingnya. Memang benar jika banyak orang bilang bahwa momen sunrise di Gunung Guntur ini sangat memanjakan mata. Tak puas menikmati puncak satu, kami pun berjalan menuju puncak dua. Dengan pundak yang bebas dari beban, perjalanan menuju puncak dua ini tidaklah terlalu sulit. Menanjak sekitar 15 menit kami pun sampai di puncak dua Gunung Guntur. Kawah Gunung Guntur terlihat jelas di bawah sana, sungguh panorama alam yang menyejukan mata.

Sunrise Gunung Guntur

Gunung Cikuray dan Papandayan nampak di kejauhan


Kawahnya Gunung Guntur

Setelah puas mengabadikan moment ini, kami pun kembali ke tenda dan memasak sarapan pagi. Menu nasi putih, sosis, kornet dan mie rebus sudah cukup mengisi perut dan tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Dengan melewati jalur yang sama kami pun melanjutkan perjalanan turun gunung. Tanjakan curam pada perjalanan kemarin berubah menjadi turunan yang curam pula. Perlu extra kehati-hatian dalam menuruni jalur turunan ini dikarenakan permukaan tanah yang berupa pasir berbatu membuat pijakan kaki kurang kuat menahan beban tubuh. Setelah beberapa jam yang cukup menyiksa lutut, alhamdulillah kami pun tiba di pos pendakian awal tanpa cedera dan luka. Nah, sekian cerita dari saya mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kawan-kawan semuanya jika akan melakukan pendakian ke Gunung Guntur ini.

Minggu, 20 September 2015

Eksotisme Situ Cisanti

Situ Cisanti dilihat dari depan

Kota Bandung merupakan salah satu tujuan utama para pelancong dari luar daerah yang ingin menghabiskan waktu liburnya dengan tujuan untuk mendapatkan sensasi yang berbeda dari kota asal mereka. Tidak hanya wisata kulinernya dan wisata berbelanjanya saja yang menjadi daya tarik para pelancong untuk selalu datang ke kota ini, wisata alamnya pun kini sudah mulai menjadi daya tarik sendiri. Wisata alam seperti Gunung Tangkuban Parahu ataupun wisata alam di Ciwidey yang sudah terkenal di kalangan para pelancong pun selalu dipenuhi oleh wisatawan di setiap hari liburnya. Sebenarnya, masih banyak destinasi wisata alam di Bandung yang belum terlalu popular, bahkan mungkin belum diketahui oleh para pelancong yang datang. Situ atau dalam bahasa Indonesia danau merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan. Beberapa diantaranya adalah Situ Patenggang di Ciwidey, ataupun Situ Cileunca di Pangalengan. Ada salah satu wisata situ yang masih belum sepopuler dua situ di atas, namun keindahan alamnya yang sangat menyejukan mata membuat situ ini memiliki daya tarik tersendiri untuk dikunjungi. Wisata situ ini terletak di selatan Kota Bandung, tepatnya di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Lokasinya yang cukup jauh dari pusat kota dan terletak di dalam hutan menjadikan wisata ini masih belum terlalu terkenal di kalangan para pelancong.
Nama situ ini adalah Situ Cisanti, sebuah danau yang terletak di kaki Gunung Wayang Windu dan memiliki panorama alam yang masih sangat eksotik merupakan hulu dari sebuah sungai terpanjang di Jawa Barat. Ya, sungai Citarum yang terkenal dengan airnya yang sangat tercemar. Kondisinya yang terletak di dalam hutan dan masih masuk ke dalam kawasan Perum Perhutani membuat situ ini berbeda dengan kondisi sungai Citarum, Situ Cisanti ini memiliki air yang sangat bersih.
Hari itu, Rabu(16/09/2015) saya memiliki kesempatan untuk berkunjung kesana. Perjalanan saya lalui dengan menggunakan kendaraan roda dua menuju Kecamatan Kertasari dimana situ itu berada. Tepat pukul 08.00 pagi, saya dan rekan saya berangkat dari arah Setiabudhi mengambil jalur Soekarno-Hatta menuju Ciparay untuk kemudian berbelok menuju arah Pacet. Dari belokan ini kita tinggal berjalan lurus terus mengikuti jalan raya. Jika sepanjang perjalanan kita menemukan angkutan kota berwarna kuning dengan jurusan Ciparay-Cibeureum-Santosa maka kita sudah berada di jalur yang benar. Sepanjang perjalanan menuju kawasan wisata Situ Cisanti ini kita akan melewati jalan yang baik dengan kontur yang menanjak. Pemandangan perkebunan warga di sepanjang kanan dan kiri jalan menyuguhkan pemandangan yang berbeda dengan suasana di perkotaan. Setelah sekitar tiga jam perjalanan, akhirnya saya sampai juga di kawasan wisata Situ Cisanti ini. Lokasinya yang masih dikelilingi dengan pepohonan tinggi membuat udara di sekitar situ ini terasa sejuk. Setelah membayar retribusi sebesar 10.000 rupiah/orang kami pun memakirkan kendaraan di tempat yang sudah disedikan. Jika diperhatikan, kasawan wisata ini sudah terkelola dengan baik walaupun masih belum maksimal. Di sekitar pelataran parkir sudah tersedia toilet, mushola, warung kecil dan tempat sampah sebagai fasilitas untuk pengunjung. Setelah melewati jalan setapak dan menuruni beberapa anak tangga kami pun sudah dapat melihat bangunan irigasi dan air situ yang tampak memantulkan pepohonan khas hutan di sekitarnya.
Tidak puas hanya bediam diri, kami pun berjalan mengelilingi situ ini. Tidak saya ketahui secara pasti berapa luas dari danau ini, tapi untuk mengelilinginya hanya di perlukan waktu sekitar 30-45 menit. Di salah satu pinggir situ ini terdapat sebuah jembatan yang menjadi ikon dari Situ Cisanti ini. banyak dari pengunjung yang hadir untuk menyempatkan berfoto ria di jembatan ini. Selain itu, di sepanjang pinggiran danau ini kita dapat melihat pemandangan warga sekitar yang memanfaatkan situ ini dengan cara memancing ikan. Di tengah perjalanan kami menemukan sumber mata air yang airnya yang jernih dan tampak kebiruan . Namun sayang, sumber mata air ini dikelilingi dengan pagar sehingga tidak bisa dilihat dari dekat. Menurut warga sekitar, sumber mata air ini dikeramatkan dikarenakan merupakan tempat petilasan dari Adipati Ukur dan hanya dibuka jika akan ada pengunjung yang akan melakukan ritual ziarah di sumber mata air ini.

Jembatan yang jadi icon Situ Cisanti

Keindahan panorama Situ Cisanti ini, dan kesejukan udara yang disuguhkan membuat Situ Cisanti ini cocok untuk dijadikan destinasi wisata yang menginginkan tempat wisata yang jauh dari keramaian kota dan memiliki pemandangan yang asri nan eksotis. Mudah-mudahan tulisan ini bisa dijadikan referensi bagi anda yang ingin mengunjungi wisata alam yang masih jauh dari keramaian.

Jumat, 11 September 2015

FIRST TIME!!

Baru mulai ngeblog nih, mudah-mudahan bisa mengembangkan diri. Kayanya di jaman yg segalanya udah berbasis teknologi kaya sekarang gini belum afdol rasanya kalo gak punya blog. Kalo kata dosen mata kuliah jurnalistik saya, di jaman yg serba canggih ini kita sebagai masyarakat yg setiap harinya dimanjakan dengan teknologi sudah seharusnya untuk "GO-BLOG". Bukan gob*og yg itu yah, tapi yg di maksud disini kita dituntut untuk dapat bisa memanfaatkan blog sebagai pintu untuk kita dapat mengetahui segala sesuatu diluar sana yg kita ga bisa dapet dari media lainnya. Nah di blog ini, saya bermaksud buat ngeshare catatan perjalanan saya yg mungkin bisa jadi bahan referensi buat kalian semua yg baca blog ini. Udah ahh gausah kepanjangan, pokonya tungguin aja yah cerita saya nanti..hehe